Kamis, 29 Desember 2011

Ikhlas

Akhir-akhir ini, saya menyadari bahwa seringkali melihat orang-orang yang sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi masih saja gagal. Banyak orang yang sudah mengorbankan materi, waktu, bahkan perasaan demi mendapatkan tujuan, tapi masih saja gagal di tengah jalan. Ada seseorang yang sudah mengorbankan waktunya untuk mencapai posisi tertentu, namun gagal. Yang lain berusaha memperoleh penghidupan yang lebih layak, namun “kelayakan” itu seolah berjalan lambat. Ada apakah?

Belajar dari sebuah kisah seorang sahabat yang orangtuanya mencalonkan diri menjadi anggota legislative di daerah kelahirannya. Beliau sudah berusaha sekuat tenaga, berdoa, mengubah tingkah lakunya mendai lebih baik, mengorbankan materi yang tdaik sedikit, bahkan hingga mengorbankan waktu berkumpul bersama dengan keluarganya. Tapi dia khir kisah, beliau tidak masuk, gagal, dan “kelayakan” itu pun berjalan dengan lambat.

Kisah seorang teman yang lain, orangtuanya yang telah pensiun, ingin memulai usaha di bidang property. Segala cara sudah dilakukan, pengorbanan materi yang “lumayan”, lagi-lagi, pengorbanan waktu dengan keluarga kecil dan keluarga besarnya, menjalin hubungan kerja dengan banyak orang di berbagai golongan, namun kisah itu kembali berakhir di “kelayakan” yang berjalan lambat. Berakhir di 1 kata, gagal. Ada apa sebenarnya?

Beberapa orang mungkin berkomentar, “Itu berarti Tuhan belum ijinkan itu terjadi”, “Itu bukan yang terbaik buat dia” atau “Tuhan mau kasi yang lebih baik”. Bahkan ada juga yang bilang, “Ah, itu biasa, kalau berhasil terus, kita bisa lupa sama Tuhan”. Namun, apa benar, semuanya itu karena Tuhan yang belum mengijinkan terjadi? Atau ada orang-orang tercinta yang tidak senang akan tujuan dari “kelayakan” orang yang disayanginya?

Dari 2 kisah sahabat dan teman itu, saya merenungkan, Tuhan memang selalu memberikan yang terbaik untuk semua anak-anak-Nya, tapi bila ada yang tidak ikhlas dengan berkat yang Dia berikan, berkat itu pun akan tersendat. Sama seperti dosa yang akan menghalangi berkat, bila dosa tersebut belum diminta untuk dihapuskan.

Mungkin beberapa saat yang lalu atau saat ini, ada dari teman-teman yang mengingnkan keberhasilan untuk saudaranya namun tidak tulus mendoakan, didoakan bersyarat pada Tuhan. Misalnya, adiknya sedang ujian didoakan supaya dapat IP yang bagus, tapi dalam hati berharap IPnya tidak lebih tinggi dari IP dirinya. Atau, ada pacar yang berharap pasangannya mendapat “kelayakan” yang lebih baik, tapi berharap tidak jauh-jauh dari dirinya. Bisa saja, hal-hal seperti itu adalah salah satu penghambat berkat yang ingin Tuhan berikan bagi saudara, orangtua, pacar, atau siapa pun orang tersayang kita.

Kemudian saya berpikir, berarti kita harus ikhlas mendoakan orang tercinta kita agar berhasil. Apapun efek dari berkat “kelayakan” yang Tuhan berikan, itu menjadi pembelajaran lagi bagi kita agar semakin berbentuk sesuai dengan keinginan Tuhan. Ikhlaskanlah….ikhlas dalam meminta padaNya, ikhlas meminta berkat-berkat “kelayakan” dan tujuan bagi orang-orang tersayang kita, agar berkat yang memang sudah dipersiapkan Tuhan tidak diambil kembali oleh Dia.



“Tuhan itu baik, selalu baik, dan akan tetap baik sampai kapan pun”

Konsisten

Siang-siang, di luar panas, tapi di ruang kantor saya suhunya hampir beku. Keadaan yang, menurut saya, tidak konsisten. Sebelah beku, sebelah panas terik, bukan suatu yang aneh di saat keadaan dunia sudah seperti sekarang, semuanya bisa diusahakan dilakukan. Bicara tentang konsisten, saya jadi ingat kejadian tadi malam, saat saya dan Jeruk pulang kantor. Di dalam sebuah “Mercedes Benz 40 bangku” jurusan terminal terkenal di Jakarta, saya bertemu dengan seorang sahabat lama, dia di sana bersama sang pacar, teman SMA saya juga.
Sepanjang perjalanan selama 1,5 jam itu, banyak kata yang bergulir dari kami masing-masing, mulai dari gossip teman kami yg sudah mengakhiri hubungannya dengan sang pacar, hingga rencana masa depan bagi kaum lajang. Saat topic pembicaraan bergulir menuju perkantoran, saya cukup terkesima, dia masih bekerja di tempat yang sama seperti yang dia ceritakan saat kami terakhir kali bertemu, mungkin 2 atau 3 tahun yang lalu. Hebat! Itu kata pertama yang muncul dalam pikiran saya sewaktu mendengar ceritanya. Mungkin lingkungan pekerjaan yang nyaman, rekan kerja yang menyenangkan, pekerjaan yang menantang, fasilitas lengkap yang disediakan, atau pendapatan yang memadai, adalah beberapa alasan yang mungkin mempertahankan sahabat saya itu di tempat kerjanya yang sekarang.
Saya dan Jeruk turun lebih dulu, karena 1 dan lain hal. Kami berpisah tapi pikiran saya masih berjalan mengingat-ingat pembicaraan kami tadi. Sambil berjalan, Jeruk menanyakan perkantoran sang sahabat. Sama seperti saya, Jeruk salut dengan konsistensi sahabat saya tersebut.
Pagi ini saya berangkat ke kantor tidak naik “Mercedes Benz 40 bangku” dengan jurusan yang biasa saya tumpangi. Jeruk dan saya mencoba jalur lainnya. Sepanjang perjalanan, saya senang karena di jalanan tidak terlalu banyak kuda besi yang melintas, mungkin karena sudah menjelang akhir tahun, banyak yang cuti atau “enggan” masuk kantor. Tapi saya kaget, karena kendaraan tersebut tidak mengikuti jalur yang ada, dia keluar jalur. Oh…NOOO...!!! Gawat! Saya mulai khawatir akan macet dan terlambat. Untung, jalanan lengang, amaaaannn….pikir saya. Saya hanya tersenyum sambil melirik ke arah Jeruk yang wajahnya sudah kenceng karena khawatir. Ternyata, kekhawatiran itu tidak bertahan lama, kami kembali masuk ke jalurnya. Amaaaaannn…..
Kami turun di tempat yang sama, karena kendaraan ini tidak melewati tempat saya bertugas hari ini. Jeruk naik kuda besi yang lain dan saya ingin mencoba jembatan penyeberangan yang berjalur panjang. Ternyata jembatan itu hanya diperuntukan bagii pengguna kendaraan umum “3500 kemana saja”, boleh sih lewat, bayar 3500, hahahahaha…. Saya menuruni jembatan di sisi lain yang memang diperuntukan bagi masyarakat umum. Berjalan melewati sebuah mall, kampus orange, dan gedung perkantoran, hingga akhirnya sampai di jembatan lain umtuk tiba dimana saya bertugas hari ini.
Sepanjang perjalanan, saya ingat 1 kata dari Jeruk semalam, “konsisten”. Teman saya yang konsisten, dapat reward dari konsistensinya, gaji yg sudah cukup layak, jatah cuti, jenjang yang sudah didapat, dan banyak lagi. Sedangkan saya, sebuah bentuk ketidak-konsistenan, barada di jalur yang tidak sesuai harapan. Ada hal yang menjadi akibat dari setiap pilihan untuk menjadi konsisten atau tidak.
Namun, saat saya berpikir kembali mengenai konsisten, saya melihat mengapa seseorang konsisten atau memilih untuk tidak konsisten. Kembali pada sahabat saya yang konsisten dengan pekerjaannya, ia nyaman dengan atmosfer kantornya, rekan kerja, pekerjaan yang menjadi bagiannya, ataupun gaji yang ditawarkan. Hal-hal tersebut mejadi poin penguat dari tingkah laku konsistennya. Sedangkan saya, dimana saya tidak konsisten menggunakan “Mercedes Benz 40 bangku” di jalur yang biasa saya naiki, karena fisik kendaraan yang sudah tua, ketidak-dinginan alat yang katanya pendingin, hingga bangku yang sempit. Hal tersebut menjadi penguat perilaku saya untuk tidak konsisten.
Dari kisah itu, saya bisa belajar, semua manusia butuh penguat dari perilaku yang dilakukan. Manusia butuh diberikan reward, supaya tingkah laku yang muncul bertahan lama. Begitu juga dengan perilaku konsisten atau nggak, butuh reward untuk bisa terus muncul.