Rabu, 25 April 2012

PISAH, HADIAH, HARU


Sudah lama saya tidak menuliskan isi kepala saya di atas kertas putih, rasanya banyak hal yang tidak cocok untuk saya tuliskan, cukup saya simpan sendiri. Sampai di suatu titik, saya merasa saya harus mengeluarkan setidaknya 1 hal yang ada di kepala saya di atas kertas dan menjadi konsumsi umum. “Filling Cabinet” di kepala saya sudah terlalu penuh untuk menyimpan semua hal, terpaksa saya menuliskannya.
Sebenarnya saya ingin menulis sesuatu yang cerita, berhubung saat saya menulis ini cuaca di luar kantor sedang mendung, memang sejak pagi matahari belum bangun, belum ada cahayanya. Tapi yang melintas di kepala saya untuk ditulis malah tentang Jerukq yang harus pindah dari kantor corporate pusat kotanya ke sebuah kantor pribadi di bilangan Jakarta Barat. Sebuah kantor pribadi dimana ada kamar-kamar yang disediakan bagi karyawannya.
Dasarnya memang Jerukq sudah lama ingin mencari pekerjaan lain yang menurutnya lebih baik, secara pekerjaan maupun penghasilan. Sampai akhirnya salah seorang sahabat kuliahnya dipindahkan ke Jakarta. Sang sahabat bekerja di salah satu cabang dari kantor pribadi ini, yang ada di Surabaya. Sahabat dekat sekali ketika kuliah. Beberapa kali bertemu, sang sahabat menawarkan posisi kosong di kantor pribadinya. Tampaknya jerukq tertarik dengan tawaran tersebut.
Di awal bulan April, Jeruk ikut tes dan interview dengan beberapa orang di kantor pribadi itu dan dinyatakan lulus seleksi. Permintaan masuk tanggal 1 Mei karena harus mengurus administrasi di kantor corporatenya. Sejauh ini tidak ada masalah apupun. Sampe di 2 minggu sebelum masuk, Jeruk kembali mengkonfirmasi bahwa dia akan masuk di tanggal 1 Mei. Ternyata, pemiliknya bilang kalau itu kelamaan, kalo memang ga bisa, ga usah juga gapapa. Suatu hal yang menakutkan, padahal Jerukq sudah mengajukan surat resign ke pihak HRD.
Diskusi dengan sang teman, dia bilang bapak pemilik kantor tersebut mungkin sedang buruk moodnya. Jerukq mengalah dan bilang kalau akan masuk di tanggal 23 April. Suasana sudah sukup tenang, sampai terjadi lagi ketegangan di hari senin, 16. sang teman mengatakan Jerukq harus masuk di hari kamis, atau tidak sama sekali. Keputusan bulat, Jerukq ijin ke atasannya untuk mundur di hari rabu, karena kamis harus sudah harus masuk ke tempat baru.
Hari rabu adalah puncak dari semuanya, puncak kesedihan, puncak kegalauan, puncak keikhlasan, dan puncak ketegaran dari Jerukq. Sejak pagi dia mulai terlalu bahagia, sampai saya curiga kalau dia sedang menutupi kegalauannya. Untuk perpisahan, dia sudah membawa kue-kue yang akan dibagikan sebagai sarapan pagi. Waktu berjalan begitu cepat, tiba juga saat dimana Jerukq harus pergi meninggalkan teman-temannya. Serangkaian acara dilakukan, mulai dari menyampaikan kata nasehat, pidato terakhir dari Jerukq, pemberian kenang-kenangan, foto-foto dan pelukan yang diberikan teman-temannya membuat suasana sedih semakin terasa. Tak hanya mereka yang sedih, suasana malam yang semakin gelap pun menemani waktu perpisahan mereka.
Jam 18.10, Jerukq keluar dari gedung kantornya menuju parkiran. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat itu. Tapi yang saya tahu dari ceritanya, Jerukq sedih dan merasa cengeng. Bahkan sampai tulisan ini saya buat, dia baru saja menyatakan kalau dia masih merasa cengeng. Kemacetan yang sudah biasa terjadi di kota ini membuat Jerukq berhenti di sebuah parkiran perkantoran untuk mengistirahatkan kakinya yang pegal.
Sambil istirahat, Jerukq membuka bingkisan kenangan yang didapatnya, sebuah bingkisan dan amplop putih dari atasannya. Bingkisan itu berisi sebuah dompet dan pulpen dengan merek ternama, dengan bau khas pusat perbelanjaan besar dekat kantornya. Senang, terharu, dan cengeng, perasaan itu muncul lagi. 1 lagi yang harus dia buka, sebuah amplop putih yang langsung diberikan oleh atasannya. Isinya sebuah kartu nama sang atasan dengan nasehat yang langsung di tulis di bagian belakang. Hal lain di dalamnya adalah hal yang tak pernah diduga akan diberikan, beberapa lembar uang dengan nominal cukup banyak, menurut saya. Terharu, kaget, senang, dan, lagi-lagi, cengeng, muncul.
Perjalanan berlanjut hingga kantor pribadi di bilangan Jakarta Barat. Jerukq bertemu dengan sang sahabat. Menuju kamar yang akan ditempati, membereskan barang bawaan, diakhiri dengan ngobrol di pojokan sebuah coffee shop sekitar kantor. Bicara mengenai pekerjaan, salahs eorang karyawan yang akan keluar di bulan Mei, keseharian sang sahabat, sampai apa yang akan mereka kerjakan besok.
Waktu terus berjalan, malam makin larut, istirahat pun harus dilakukan. Karena Jerukq belum selesai, saya beristirahat lebih dulu. Ketika saya terlelap, Jerukq mengirimkan sebuah pesan. Dalam pesan itu tampaknya Jerukq ragu dengan keputusan yang diambilnya untuk pindah dari kantor corporatenya ke kantor pribadi, Jerukq takut itu keputusan yang salah.
Tadi pagi saat saya membaca kembali isi pesan tersebut, saya berpikiran kalau jerukq takut dengan zona tak nyaman yang akan dia hadapi. Keluar dari zona nyaman memang tidak selamanya enak, bahkan butuh perjuangan yang tidak sebentar. Saya sadar, bukan hanya orang yang baru kerja saja yang mengalami perasaan tidak nyaman itu, ternyata Jerukq yang sudah pernah bekerja di bidang yang sama pun akan mengalami hal yang sama.
Bukan hanya karena masalah keluar dari zona nyaman, tapi khawatir tidak sesuainya impian, bayangan, dan harapan, membuat seseorang meragukan apa yang sudah dia putuskan. Proses adaptasi juga salah satu yang membuat kita harus berjuang untuk mengubah zona tak nyaman menjadi zona nyaman lagi. Beradaptasi dengan sisi internal dan eksternal zona.
Jerukq harus berusaha beradaptasi dengan zona tak nyamannya, saya pun harus beradaptasi juga dengan situasi ini. Beberapa bulan ini, saya bisa sesuka saya untuk bertemu dengan Jerukq. Pergi, makan siang, pulang, atau nongkrong pulang kantor bareng itu sudah tidak aneh. Tapi sekarang, saya harus menyesuaikan diri bahwa tidak bisa lagi melakukan beberapa hal atau menunda hal yang lain hingga akhir minggu.
Sedih memang, bahkan saya hampir menangis tiap saya ingat kalau sampai minggu kemarin, setiap hari jumat saya selalu pulang bersama Jerukq, sekarang sudah tidak bisa lagi. Saya pun bisa sesukanya meminta Jerukq di rumah dulu setelah mengantarkan pulang, tapi sekarang, itu cuma bisa di akhir minggu.
Aaaaarrrrggggggghhhhhhh…….rasanya saya mau teriak dan marah padanya, kenapa harus menerima pekerjaan ini. Tapi saya bukan siapa-siapa, saya bukan orang yang berhak mengatur kehidupan seseorang. Ini sudah pilihannya, berarti dia sudah siap dengan segala sesuatu di dalamnya.
Perpisahan, hadiah, dan rasa haru adalah 1 paket yang sulit dipisahkan. Saat ada perpisahan, mayoritas orang akan memikirkan hadiah sebagai kenang-kenangan. Saat hadiah itu diberikan, rasa haru tidak bisa dibendung. Bukan hanya rasa haru ketika menerima tapi juga rasa haru ketika memberikan. Bukan hanya rasa haru ketika mengalami, tapi juga rasa haru ketika melihat keharuan itu ada.
Semua pasti baik-baik, hon. Seperti yang sering saya bilang, hidup itu adalah pilihan dan dalam setiap pilihan ada akibatnya. Ketika memilih, kita harus sudah siap untuk kehilangan dan menerima sekaligus, kehilangan pilihan yang lain dan menerima pilihan-pilihan berikutnya. Memilih bukan sekedar memilih, harus dipikirkan dan diyakini. Jalani suatu hal dengan keyakinan, dan semuanya akan baik-baik saja. Ketika tidak yakin dengan sesuatu, jangan pernah berpikiran untuk terus jalani, berhenti dan carilah pilihan yang lain.