Sudah lama saya
tidak menuliskan isi kepala saya di atas kertas putih, rasanya banyak hal yang
tidak cocok untuk saya tuliskan, cukup saya simpan sendiri. Sampai di suatu
titik, saya merasa saya harus mengeluarkan setidaknya 1 hal yang ada di kepala
saya di atas kertas dan menjadi konsumsi umum. “Filling Cabinet” di kepala saya sudah terlalu penuh untuk menyimpan
semua hal, terpaksa saya menuliskannya.
Sebenarnya saya
ingin menulis sesuatu yang cerita, berhubung saat saya menulis ini cuaca di
luar kantor sedang mendung, memang sejak pagi matahari belum bangun, belum ada
cahayanya. Tapi yang melintas di kepala saya untuk ditulis malah tentang Jerukq
yang harus pindah dari kantor corporate
pusat kotanya ke sebuah kantor pribadi di bilangan Jakarta Barat. Sebuah kantor
pribadi dimana ada kamar-kamar yang disediakan bagi karyawannya.
Dasarnya memang
Jerukq sudah lama ingin mencari pekerjaan lain yang menurutnya lebih baik,
secara pekerjaan maupun penghasilan. Sampai akhirnya salah seorang sahabat
kuliahnya dipindahkan ke Jakarta .
Sang sahabat bekerja di salah satu cabang dari kantor pribadi ini, yang ada di Surabaya . Sahabat dekat
sekali ketika kuliah. Beberapa kali bertemu, sang sahabat menawarkan posisi
kosong di kantor pribadinya. Tampaknya jerukq tertarik dengan tawaran tersebut.
Di awal bulan
April, Jeruk ikut tes dan interview dengan beberapa orang di kantor pribadi itu
dan dinyatakan lulus seleksi. Permintaan masuk tanggal 1 Mei karena harus
mengurus administrasi di kantor corporatenya. Sejauh ini tidak ada masalah
apupun. Sampe di 2 minggu sebelum masuk, Jeruk kembali mengkonfirmasi bahwa dia
akan masuk di tanggal 1 Mei. Ternyata, pemiliknya bilang kalau itu kelamaan,
kalo memang ga bisa, ga usah juga gapapa. Suatu hal yang menakutkan, padahal
Jerukq sudah mengajukan surat
resign ke pihak HRD.
Diskusi dengan
sang teman, dia bilang bapak pemilik kantor tersebut mungkin sedang buruk
moodnya. Jerukq mengalah dan bilang kalau akan masuk di tanggal 23 April.
Suasana sudah sukup tenang, sampai terjadi lagi ketegangan di hari senin, 16.
sang teman mengatakan Jerukq harus masuk di hari kamis, atau tidak sama sekali.
Keputusan bulat, Jerukq ijin ke atasannya untuk mundur di hari rabu, karena
kamis harus sudah harus masuk ke tempat baru.
Hari rabu adalah
puncak dari semuanya, puncak kesedihan, puncak kegalauan, puncak keikhlasan,
dan puncak ketegaran dari Jerukq. Sejak pagi dia mulai terlalu bahagia, sampai
saya curiga kalau dia sedang menutupi kegalauannya. Untuk perpisahan, dia sudah
membawa kue-kue yang akan dibagikan sebagai sarapan pagi. Waktu berjalan begitu
cepat, tiba juga saat dimana Jerukq harus pergi meninggalkan teman-temannya.
Serangkaian acara dilakukan, mulai dari menyampaikan kata nasehat, pidato
terakhir dari Jerukq, pemberian kenang-kenangan, foto-foto dan pelukan yang
diberikan teman-temannya membuat suasana sedih semakin terasa. Tak hanya mereka
yang sedih, suasana malam yang semakin gelap pun menemani waktu perpisahan
mereka.
Jam 18.10,
Jerukq keluar dari gedung kantornya menuju parkiran. Entah apa yang ada dalam
pikirannya saat itu. Tapi yang saya tahu dari ceritanya, Jerukq sedih dan
merasa cengeng. Bahkan sampai tulisan ini saya buat, dia baru saja menyatakan
kalau dia masih merasa cengeng. Kemacetan yang sudah biasa terjadi di kota ini membuat Jerukq
berhenti di sebuah parkiran perkantoran untuk mengistirahatkan kakinya yang
pegal.
Sambil
istirahat, Jerukq membuka bingkisan kenangan yang didapatnya, sebuah bingkisan
dan amplop putih dari atasannya. Bingkisan itu berisi sebuah dompet dan pulpen
dengan merek ternama, dengan bau khas pusat perbelanjaan besar dekat kantornya.
Senang, terharu, dan cengeng, perasaan itu muncul lagi. 1 lagi yang harus dia
buka, sebuah amplop putih yang langsung diberikan oleh atasannya. Isinya sebuah
kartu nama sang atasan dengan nasehat yang langsung di tulis di bagian
belakang. Hal lain di dalamnya adalah hal yang tak pernah diduga akan
diberikan, beberapa lembar uang dengan nominal cukup banyak, menurut saya.
Terharu, kaget, senang, dan, lagi-lagi, cengeng, muncul.
Perjalanan
berlanjut hingga kantor pribadi di bilangan Jakarta Barat. Jerukq bertemu
dengan sang sahabat. Menuju kamar yang akan ditempati, membereskan barang
bawaan, diakhiri dengan ngobrol di pojokan sebuah coffee shop sekitar kantor. Bicara mengenai pekerjaan, salahs
eorang karyawan yang akan keluar di bulan Mei, keseharian sang sahabat, sampai
apa yang akan mereka kerjakan besok.
Waktu terus
berjalan, malam makin larut, istirahat pun harus dilakukan. Karena Jerukq belum
selesai, saya beristirahat lebih dulu. Ketika saya terlelap, Jerukq mengirimkan
sebuah pesan. Dalam pesan itu tampaknya Jerukq ragu dengan keputusan yang
diambilnya untuk pindah dari kantor corporatenya
ke kantor pribadi, Jerukq takut itu keputusan yang salah.
Tadi pagi saat
saya membaca kembali isi pesan tersebut, saya berpikiran kalau jerukq takut
dengan zona tak nyaman yang akan dia hadapi. Keluar dari zona nyaman memang
tidak selamanya enak, bahkan butuh perjuangan yang tidak sebentar. Saya sadar,
bukan hanya orang yang baru kerja saja yang mengalami perasaan tidak nyaman
itu, ternyata Jerukq yang sudah pernah bekerja di bidang yang sama pun akan
mengalami hal yang sama.
Bukan hanya
karena masalah keluar dari zona nyaman, tapi khawatir tidak sesuainya impian,
bayangan, dan harapan, membuat seseorang meragukan apa yang sudah dia putuskan.
Proses adaptasi juga salah satu yang membuat kita harus berjuang untuk mengubah
zona tak nyaman menjadi zona nyaman lagi. Beradaptasi dengan sisi internal dan
eksternal zona.
Jerukq harus
berusaha beradaptasi dengan zona tak nyamannya, saya pun harus beradaptasi juga
dengan situasi ini. Beberapa bulan ini, saya bisa sesuka saya untuk bertemu
dengan Jerukq. Pergi, makan siang, pulang, atau nongkrong pulang kantor bareng
itu sudah tidak aneh. Tapi sekarang, saya harus menyesuaikan diri bahwa tidak
bisa lagi melakukan beberapa hal atau menunda hal yang lain hingga akhir
minggu.
Sedih memang,
bahkan saya hampir menangis tiap saya ingat kalau sampai minggu kemarin, setiap
hari jumat saya selalu pulang bersama Jerukq, sekarang sudah tidak bisa lagi.
Saya pun bisa sesukanya meminta Jerukq di rumah dulu setelah mengantarkan
pulang, tapi sekarang, itu cuma bisa di akhir minggu.
Aaaaarrrrggggggghhhhhhh…….rasanya
saya mau teriak dan marah padanya, kenapa harus menerima pekerjaan ini. Tapi
saya bukan siapa-siapa, saya bukan orang yang berhak mengatur kehidupan
seseorang. Ini sudah pilihannya, berarti dia sudah siap dengan segala sesuatu
di dalamnya.
Perpisahan,
hadiah, dan rasa haru adalah 1 paket yang sulit dipisahkan. Saat ada
perpisahan, mayoritas orang akan memikirkan hadiah sebagai kenang-kenangan.
Saat hadiah itu diberikan, rasa haru tidak bisa dibendung. Bukan hanya rasa
haru ketika menerima tapi juga rasa haru ketika memberikan. Bukan hanya rasa
haru ketika mengalami, tapi juga rasa haru ketika melihat keharuan itu ada.
Semua pasti
baik-baik, hon. Seperti yang sering saya bilang, hidup itu adalah pilihan dan
dalam setiap pilihan ada akibatnya. Ketika memilih, kita harus sudah siap untuk
kehilangan dan menerima sekaligus, kehilangan pilihan yang lain dan
menerima pilihan-pilihan
berikutnya. Memilih bukan sekedar memilih, harus dipikirkan dan diyakini.
Jalani suatu hal dengan keyakinan, dan semuanya akan baik-baik saja. Ketika
tidak yakin dengan sesuatu, jangan pernah berpikiran untuk terus jalani,
berhenti dan carilah pilihan yang lain.